Robbymilana's Blog

Apa yang Anda lihat, belum tentu demikian adanya.

  • Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

    Join 2 other subscribers
  • My Facebook

Archive for the ‘Politik’ Category

Analisis terhadap teori dan praktik politik.

Budaya Politik Menurut Gabriel Almond

Posted by robbymilana on April 16, 2010

Agak terlalu terburu-buru jika ada seorang kandidat dalam Pemilu atau Pilkada dengan royal bersedia menghabiskan uangnya milyaran rupiah untuk menjaring suara tanpa memahami budaya politik “target market” yang ditujunya.

Menurut Almond, studi mengenai budaya politik bukan saja untuk memahami sikap dan orientasi politik suatu masyarakat, namun juga merupakan kunci untuk memahami setiap sistem politik.

Dalam pandangan Almond, budaya politik adalah sikap warga suatu negara terhadapat praktik dan kehidupan pemerintahan dan politiknya.

Almond menawarakan beberapa kata kunci untuk memahami budaya politik, yakni identitas nasional, kesadaran kelas, motivasi untuk berprestasi, keyakinan akan kebebasan dan persamaan, efektivitas politik, dan kepercayaan pada pemerintah.

Identitas nasional merupakan suatu sikap untuk mengukur kesatuan dan stabilitas nasional suatu masyarakat. Konteks ini yang nantinya dapat digunakan untuk melakukan analisa terhadap tinggi atau rendahnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan dan sistem politiknya. Sebagai contoh, identitas nasional di Italia dianggap sama intensitasnya dengan identitas nasional di Tanzania, sebuah negara yang baru lahir sekitar 35 tahun lalu. Hal ini dikarenakan pemerintah Tanzania telah melakukan sosialisasi secara sistemik dalam pembentukan negaranya demi mengembangkan dasar-dasar dukungan rakyat. Sementara Italia meskipun merupakan negara modern, namun rakyatnya masih terikat kuat dengan ikatan lokalisme dan regionalisme. Hal ini selalu bertarung dengan gagasan nasionalisme Italia.

Kesadaran kelas merupakan sekumpulan sikap yang sangat mempengaruhi struktur dari sistem kepartaian dan stabilitas pemerintahan. Ini berguna untuk memprediksi orientasi pemilih terhadap suatu partai politik dan penilaian rakyat terhadap pemerintahan. Sebagai contoh, di beberapa negara Eropa, kaum buruh dan golongan berpenghasilan rendah cenderung memberikan suaranya untuk Partai Buruh, Partai Sosialis atau Partai Komunis. Sementara mereka yang datang dari golongan kelas menengah dan profesional cenderung memilih partai yang liberal dan konservatif.

Motivasi untuk berprestasi merupakan idiom penting untuk mengukur keinginan rakyat dalam memperoleh kecakapan atau kekayaan material. Mereka akan berpartisipasi dalam politik jika menganggap bahwa sistem politik yang ada dapat mengakomodir hal itu.

Sikap-sikap lain seperti keyakinan akan kebebasan, persamaan, dan efektivitas politik merupakan kepercayaan masyarakat pada kemampuannya sendiri untuk merealisasikan kebutuhannya dan menyatakan tuntutannya secara efektif dalam kehidupan politik. Biasanya keyakinan-keyakinan ini muncul di negara-negara yang menggunakan sistem demokrasi.

Terakhir, kepercayaan terhadap pemerintahan menjadi tolak ukur penting untuk menganalisa budaya politik suatu masyarakat. Masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaannya terhadap pemirintahan yang sah (ini artinya pemerintah sudah tidak lagi berwibawa terhadap rakyatnya), akan mengambil dua alternatif sikap: tidak perduli dengan pemerintahan atau sebaliknya sangat ingin menggulingkan pemerintahan.

Tipologi Budaya Politik
Almond menguraikan bahwa terdapat tiga tipologi dalam budaya politik, yakni budaya politik parokial, budaya politik subjek, dan budaya politik partisipan.

Budaya politik parokial adalah budaya politik masa bodo, acuh tak acuh atau bahkan apatis. Masyarakat yang menganut budaya politik parokial bercirikan tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Mereka mungkin buta huruf, tinggal di desa terpencil, atau mungkin karena desakan faktor sosio-ekonomi yang membuat orientasi mereka hanya pada bagaimana mencari makan. Tingkat pendidikan pada akhirnya menjadi penentu juga untuk mengukur tingkat partisipasi politik masyarakat; semakin rendah pengetahuan atau tingkat pendidikannya, maka akan semakin sedikit keterlibatannya dan politik.

Budaya politik subjek merupakan budaya politik pasif. Tingkatannya sudah lebih tinggi dari budaya politik parokial. Pada budaya politik subjek, masyarakat patuh pada undang-undang dan pemerintahan, namun belum melibatkan diri dalam politik atau belum secara sadar memberikan suara dalam pemilihan

Budaya politik partisipan merupakan tingkat budaya politik tertinggi dimana masyarakat sudah melibatkan diri dalam berbagai kegiatan politik, minimal dalam kegiatan pemberian suara dan memperoleh informasi yang cukup banyak mengenai kehidupan politik dan pemerintahan.

Budaya Politik di Indonesia
Dalam pendapat pribadi saya, hingga sampai saat ini untuk konteks Indonesia, secara umum budaya politik yang dianut masih dalam transisi dari budaya politik subjek ke budaya partisipan. Atau lebih tepatnya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada pada budaya politik subjek. Sebagian besar masyarakat memang sudah melakukan pemberian suara dalam pemilihan, namun belum melakukannya dengan “kesadaran”. Mereka masih memberikan suara karena ikut-ikutan saja, karena takut pada pemerintah, atau yang paling banyak adalah karena diiming-imingi “amplop”.

Tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia terhadap politik dan pemerintahan juga masih belum merata. Mari kita ambil contoh. Dalam pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004 dan tahun 2009 sebagian besar masyarakat memilih SBY untuk menjadi Presiden. Hal ini dilakukan bukan karena orientasi terhadap program-program kerja yang ditawarkan SBY, melainkan karena figur SBY secara fisik dianggap bagus.

Dalam budaya politik subjek ciri utamanya adalah masyarakat patuh pada undang-undang dan pemerintahan. Demikian yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Mereka patuh membayar pajak, namun tidak paham untuk apa dan kemana uang yang mereka berikan itu akan digunakan. Mereka memberikan suara dalam pemilihan, namun tidak tahu bagaimana kinerja pemerintahan yang sudah mereka pilih. Dan seterusnya.

Penyebaran informasi yang lebih lengkap mengenai segala hal yang berhubungan dengan politik sebenarnya sudah sangat terbuka sekali pada masa ini, terutama karena dukungan sistem politik pasca Orde Baru dan dukungan teknologi informasi. Namun budaya masyarakat secara umum belum menyentuh itu. Mungkin di masa mendatang budaya politik masyarakat akan menjadi lebih baik. Proses dan waktu, itu yang masih dibutuhkan.

Sumber:
Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik (Jogjakarta: UGM Press, 2000)

Posted in Politik | Tagged: , , , , , | Leave a Comment »

Pilkada 2010

Posted by robbymilana on April 15, 2010

Seorang bapak yang menggunakan batik coklat berlengan pendek tersenyum sambil menatap ke arah saya. Sejenak kemudian dengan tegas dia menyatakan, “Walau saya tidak punya uang, saya akan tetap maju. Toh pendukung setia saya banyak hampir di tujuh Kecamatan di Kota ini.”

Kepercayaan diri memang sebuah kualitas yang bagus yang harus dimiliki oleh seorang calon kepala daerah, entah itu calon Gubernur atau calon Bupati/Walikota. Namun itu saja belum cukup. Dan untuk kasus bapak di atas, dia melupakan 3 hal.

Pertama, dia melupakan bahwa secara matematis (yang tentu juga secara sosiologis dan psikologis) PENDUKUNG SETIA dalam setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada, tidak pernah lebih dari 30 persen orang yang mengaku setia (bukan 30 % calon pemilih). Kalau ada 100.000 orang yang mengaku setia kepada Anda, itu artinya hanya ada 30.000 yang betul-betul setia. 70% lainnya hanya “mengaku”. Mereka sebenarnya pragmatis. Dan itu sah-sah saja. Jadi jika ada seorang calon Walikota/Bupati mengatakan ada 100.000 pendukung setia dan dia sudah PD bhw 100.000 itu akan benar2 memilihnya, ini sebuah asumsi yang gegabah. Dan yang perlu diingat lagi adalah, untuk menciptakan pendukung menjadi setia ada banyak hal yang harus dilakukan oleh si calon dan memerlukan waktu yang intens dan agak lama. Ingatlah fenomena ini: kesetiaan dalam politik setipis embun pagi; kesetiaan sebenarnya adalah 5 menit saat para pemilih berada di bilik suara. Hanya 5 menit itu. Dan percayakah bahwa 1 menit sebelum menuju ke 5 menit itu keputusan seseorang dapat berubah dalam sekejap? Ya, salah satunya melalui “serangan fajar” atau apalah namanya.

Kedua, si bapak tadi mengatakan bahwa “walau tidak punya uang…” dia merasa akan tetap dapat bertarung dengan aman, syukur bisa menang. Ini agak mustahil dalam konteks masyarakat dan budaya politik kita sekarang. Apa saya sedang membenarkan kuatnya pengaruh politik uang? Ya. Kenyataannya demikian. Sulit seorang calon Walikota/Bupati akan merebut Kota/Kabupaten tanpa uang. Toh dia perlu melakukan safari politik, mengerahkan massa, membiayai kampanye below & above the line, dll. Mungkin tidak perlu memberi “amplop” kpd calon pemilih, namun tetap saja dia harus keluar uang toh. Ini biaya politik, dan di dalamnya akan ada terkandung unsur politik uang.

Ketiga, yang dilupakan bapak tadi adalah STRATEGI. Dia merasa -bersama team kampanyenya (oya, umumnya yang dimaksud team kampanye itu adalah orang-orang dekat atau kerabat yang membantu dia untuk kampanye. Orang2 itu tentu hanya orang-orang yang cenderung menjadi pelaku lapangan dan bukan konseptor) bahwa tanpa strategi pun dia akan baik-baik saja terjun ke medan tempur Pilkada. Ini jelas jelas jelas jelas jelas sangat tidak valid. Tidak ada satu tindakan pun di muka bumi ini yang berhasil tanpa strategi. Mau dibilang aksidental atau mengalir bagai air? No..no..no.. Sangat mustahil itu dilakukan. Dan Pilkada MUTLAK memerlukan strategi.

Ada lima tahap strategi yang harus dilakukan seseorang dalam kaca mata marketing politik untuk bisa mengungguli lawan, yakni (1) Tahap Brand Awareness. Pada tahap ini si calon memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Baru sebatas memperkenalkan diri. Hasil pada tahap ini adalah begini, “Ooooh si anu mencalonkan diri menjadi Walikota/Bupati.” Baru sebatas bahwa calon pemilih tahu ada dia dalam bursa calon Walikota/Bupati. (2) Tahap Brand Knowledge. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai punya pemaham lebih thd calon Walikota/Bupati. Hasil dari tahap ini adalah begini, “Waaah…ternyata si anu punya program Pembangunan UKM dan ingin mengembangkan program community development secara berkelanjutan.” (3) Tahap Brand Preference. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai membandingkan antara calon yang satu dengan calon yang lain. Hasil dari tahap ini adalah, “Kayak-kayaknya si A emang lebih bagus daripada si B.” Mulai membandingkan keunggulan. (4) Tahap Brand Liking. Pada tahap ini calon pemilih mulai memiliki rasa suka terhadap calon Walikota/Bupati. Jika seorang calon Walikota/Bupati sudah memasuki tahp ini dan memperoleh hasilnya, maka dapat dibilang dia sudah aman, Namun belum 100% aman. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai bilang, “Ya, saya akan pilih si A.” Namun ingatlah, rasa suka seseorang masih bisa dibombardir oleh serangan fajar dan yang sejenisnya. Karena itu ada satu tahap lagi untuk mengikat calon pemilih. (5) Tahap Brand Loyalty. Pada tahap ini calon pemilih sudah setia kepada calon Walikota/Bupati yang akan dipilihnya. Sudah tidak akan goyah oleh apapun termasuk oleh serangan fajar.

Dalam menjalankan 5 tahap strategi tersebut, perlu ada komitmen yang kuat dari calon Kepala Daerah. Karena 5 tahap tadi akan diisi oleh strategi2 yang cukup menguras tenaga, pikiran, waktu dan tentu saja biaya. Misalnya pada tahap 1 dan 2 akan diisi oleh strategi PENCITRAAN, roadshow, dll. Pada tahap 3, 4 dan 5 akan diisi oleh strategi yang lain lagi.

Jadi jika dikatakan akan mempu bertarung tanpa strategi lalu menang, maka saya berani mengatakan bahwa itu merupakan HIL YANG MUSTAHAL.

Mohon digarisbawahi, apa yang saya buat di atas adalah perspektif dalam konteks marketing politik. So, jangan gugat saya dengan segala urusan moral. Karena ulasan di atas memang lebih kepada pendekatan rasional. Hanya saja, moral nanti akan bermain pada tataran aplikasi dan teknis. Pastilah itu.

Ulasan di atas bisa saja tidak benar 100%. Saya sadar itu. Tak ada gading yang tak retak toh. Tapi jika mau diskusi, saya persilahkan. Terutama bagi Anda calon Walikota/Bupati yang akan running dalam Pilkada 2010.

Maju terus Indonesia ku!

Posted in Politik | Tagged: , , , , | Leave a Comment »